Sabtu, 28 April 2012

Langkah-langkah Dasar Analisis Model DPBW

a.    Analysis Stage
Tahap analisis merupakan langkah awal dalam DPWB yang berisikan 2 phase yaitu : analisis masalah dan analisis komponen pembelajaran. Dokumentasi dari proses DPBW dimulai dalam tahapan ini. Dokumentasi dari proses DPBW dimulai dalam tahapan ini. Penulisan dokumen ini merupakan bagian dari laporan yang lebih besar,umumnya diketahui sebagai Design Document (DD). Perancang menggunakan DD untuk menguraikan prosedur yang digunakan, keputusan yang dibuat, dan laporan yang dihasilkan. Termasuk rasionalitas dan justifikasi dalam DD kenapa keputusan itu dibuat dan siapa yang melakukannya.
1)   Problem Analysis
Tujuan dari phase ini adalah untuk menginvestigasi permasalahan yang muncul dan mengidentifikasi solusi yang dianggap paling tepat. Ada beberapa langkah yang terkait dalam kajian ini yaitu adanya jurang antara unjuk kerja yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi. Perbedaan itu  terjadi karena kurangnya keterampilan, pengetahuan dan motivasi dalam membuat DPWB.
Horton (2000) menyatakan bahwa jika pembelajaran dianggap sebagai solusi yang paling tepat maka desainer juga harus menentukan system penyampaian pesan yang paling tepat. Salah satu factor berpengaruh yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kelayakan PBW adalah alat evaluasi dan dukungan yang tersedia di institusi di mana PBW akan dilaksanakan. PWB diciptakan dan dikembangkan dengan merancang halaman web. Menyediakan dan menggunakan alat serta system manajemen yang memiliki fasilitas khusus untuk merancang pembelajaran  secara online. Desainer harus memiliki akses terhadap semua komponen pendukung baik perangkat keras maupun perangkat lunak.
2)   Instructional Component Analysis
Phase kedua dari analysis yang diperlukan desainer  untuk menganalisis empat komponen dari situasi pembelajaran. Empat komponen itu adalah (1) goals, (2) context, (3) learners, dan (4) instructional content. (Davidson, 1990; Davidson-shiver 1998). Pertanyaan berikut dapat digunakan sebagai kerangka analisis ini.
Ø  Apa tujuan PBW ?
Ø  Apa konteks PBW ?
Ø  Siapa peserta didiknya ?
Ø  Apa konten  pembelajarannya?
3)   Instructional Goal Analysis
Phase kedua dimulai dengan mengidentifikasikan tujuan pembelajaran. Pernyataan umum yang menyatakan apa yang didapatkan peserta didik setelah tujuan pembelajaran PBW lengkap. Level hasil belajar yang akan dicapai dinyatakan dalam phase ini. Dalam DPBW, pernyataan tentang kejelasan tujuan pembelajaran dalam bentuk level capaian yang diharapkan sangat penting, sebab system evaluasi dan criteria penilaian harus dapat dipahami peserta didik. Peserta didik dapat melihat langsung secara nyata apa tujuan yang ingin dicapai dalam setiap level pembelajaran.
4)   Instructional Context Analysis
ICA (Instructional Context Analysis) merupakan analisis situasi lingkungan yang terjadi pada waktu yang akan datang dalam model DPWB. Antara lain adalah menguraikan lingkungan di mana DPBW dirancang dan diajarkan. Selanjutnya, mengkaji infrastruktur secara organisasional, kompetensi yang dimiliki personal, akses peserta didik terhadap teknologi, dan daya dukung fasilitas yang tersedia.
Lingkungan merupakan komponen penting dalam merancang PBW. Misalnya, DPBW untuk SMP, SMA/SMK atau PT memiliki karakteristik berbeda. Desainer harus betul-betul memahami kondisi lingkungan agar menyesuaikan konten yang disediakan dalam  DPBW.
Infrastruktur harus menjadi pertimbangan karena tanpa dukungan infrastruktur yang baik  DPBW tidak mungkin dapat berjalan optimal. Sumber daya pendukung seperti teknisi atau laboran  dipastikan tersedia secara lengkap.
5)   Linear’s Analysis
     Tujuan dari LA (learner’s analysis) menurut Davidson (1999) adalah untuk mengidentifiksikan minat  peserta didik, kebutuhan, kemampuan dan juga pengetahuan awal, keterampilan, dan pengalaman. Misalnya, menentukan minat, bakat dan  keterampilan kelompok belajar adalah kebutuhan untuk  menciptakan contoh- contoh yang tepat  dalam pembelajaran dan latihan-latihan praktik yang relevan.
     DPBW dilaksanakan secara individu yang mengharapkan adanya motivasi tinggi dari peserta didik untuk belajar mandiri. Oleh karena itu, desainnya harus dapat memberikan dorongan kepada peserta didik untuk mengikuti pembelajaran yang sesuai dengan minat bakat dan keterampilan peserta didik.
6)   Instructional Content  Analysis
Para desainer menentukan struktur dan urutan dari langkah utama dan keterempilan tambahan  yang akan dipresentasikan dalam DPBW. Analisis ini dilaksanakan untuk mengetahui di mana DPBW harus dimulai dan keterampilan awal apa yang diperlukan oleh seseorang peserta didik untuk berpartisipasi secara baik. Sesuai dengan teori yang melandasi DPBW bahwa belajar dengan konsep pendekatan belajar mandiri harusnya mengikuti langkah-langkah pembelajaran secara bertahap. Tahapan materi ini memungkinkan peserta didik dapat mengikuti dan menguasai dari yang paling sederhana sampai yang kompleks.
b.    Evaluation Planning Stage
EPS (Evaluation Planning Stage) mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
1)      Siapa stakeholder-nya ?
2)      Apa yang dievaluasinya ?
3)      Siapa evaluator dan reviewer-nya?
4)      Bagaimana metode evaluasinya ?
5)      Kapan dan bagaimana evaluasi itu diambil ?
6)      Apa jenis keputusan yang perlu dibuat dan rencana desain PBW dan bagaimana mengembangkannya.
Bagian akhir  dari rencana evaluasi formatif adalah ujicoba dengan pengguna akhir. Lalu point lainnya adalah mencoba membuat perbandingan antara model DPBW jika dibandingkan model di tradisional. Implemementasi awal digunakan untuk uji lapangan dari protipe.
Bagian kedua dari langkah rencana evaluasi adalah mengembangkan rencana awal untuk evaluasi sumatif. Hal ini penting dalam model DPBW. Sering terjadi di mana data tentang produk pembelajaran dan praktik tidak terkumpul sebelum sebuah inovasi baru diperkenalkan dan kemudian di evaluasi yang bernilai menjadi hilang. Tujuan dari rencana preliminary evaluasi sumatif meyakinkan bahwa terjaminnya  kebutuhan pengumpulan data yang terjadi pada desain sebelumnya  dan dapat dijadikan dasar perencanaan pembelajaran baru.
c.    Concurrent Design Stage
Berdasarkan temuan pada tahapan analisis dan rencana evaluasi (Rasmussen & Shivers : 2003), maka tahapan berikutnya adalah proses desain, pengembangan, implementasi awal dan evaluasi.
1)   Preplanning Activities
Tahapan desain yang disetujui secara actual dimulai dengan kegiatan preplanning, diutamakan untuk memulai proses perancangan yang terkait dengan rancangan biaya dan alokasi sumber daya. Desainer pembelajaran atau manajer proyek dapat mengidentifikasi  tugas-tugas utama dan waktu yang diperlukan untuk mengembangkan DPBW.
2)   Design Processes
Proses desain mencakup tujuan khusus dan bentuk asesmen (Gagne, dkk :1992) yang diperlihatkan dalam bentuk TOAB (Task-Objective-Assesment Item Blueprint). TOAB  berisikan identifikasi tugas pembelajaran (konten) tujuan DPBW, dan contoh item dari asesmen serta memberikan penjelasan tentang cara menyelesaikan tugas tersebut. Strategi pembelajaran dan motivasi perlu juga direncanakan dan dokumentasikan dalam lembar kerja strategi DPBW. Lembar kerja ini  menjadi blueprint kedua dari produk DPBW.
3)   Development Processes
Strategi pengembangan dalam bentuk pengulangan desain DPBW tidak perlu menunggu desain selesai secara lengkap. Setelah satu seksi desain dapat diselesaikan, selanjutnya dilakukan pengembangan dalam bentuk penyempurnaan secara simultan. Langkah-langkah seperti ini selalu dilakukan dalam pengembangan DPWB yang secara terus menerus dikembangkan sesuai dengan masukan (Feedback) yang diperoleh selama proses desain. Proses desain simultan ini dapat membantu desainer merencanakan dan menciptakan unit-unit pembelajaran baik yang sederhana maupun yang kompleks.
d.    Implementation Stage
Tahapan implementasi terjadi apabila PBW sudah siap digunakan oleh peserta didik. Tahapan implementasi ini dapat dilakukan dalam dua tahapan lagi yaitu implementasi awal dan implementasi penuh.
1)   Initial Implementation
Implementasi awal ini merupakan bagian dari desain secara simultan. Hal ini juga bagian dari evaluasi formatif yang memungkinkan desainer mendapat hasil uji lapangan yang benar-benar actual dengan audiens yang nyata. Selain itu juga pada tahap ini dapat dilihat perbedaan antara model DPBW dengan model desain pembelajaran lainnya.
2)   Full Implementation
Dalam implementasi penuh ditekankan pada hubungan antar berbagai komponen atau aspek seperti sumber daya manusia dan manajemen. Implementasi penuh terjadi bila semua revisi utama telah dilengkapi dan PBW telah dapat didesiminasikan pada audiens yang lebih besar (Gagne, dkk: 1992). Dalam implementasi penuh hanya ada dua aspek yang paling penting yaitu sumber daya manusia dan manajemen.
Sumber daya manusia merupakan kelengkapan penting untuk membangun komunitas belajar yang dilaksanakan oleh tim implementasi. Tim ini mencakup instruktur, peserta didik, dukungan teknisi, dan administrasi serta mentor.
Manajemen diperlukan untuk memelihara PBW tetap berjalan sepanjang waktu tanpa hambatan. Dukungan manajemen diperlukan untuk meng-apdate websaite secara rutin, menyiapkan link aktif, meng-upgrade software dan berbagai utilitas lainnya.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi sumatif dirancang secara silkus selama proses perancangan, kemudian PBW diimplementasikan dalam waktu tertentu. Tujuan evaluasi sumatif adalah apakah PBW masih dibutuhkan atau masih efektif. Prosedur evaluasi formatif didasarkan pada rencana awal yang diusulkan oleh desainer selama masa perencanaan. Dalam PBW evaluasi formatif menjadi sebuah bentuk penelitian yang diawali dengan riset, laporan tentang proses, hasil dan rekomendasi yang dipersiapkan bagi stakeholder untuk membantunya membuat keputusan tentang masa depan penggunaan PBW.
Model DPBW merupakan sebuah pendekatan terpadu yang menekankan bahwa desain PBW, pengembangan dan implementasi sesuai dengan tujuan pembelajaran dan juga dibutuhkan oleh peserta didik dan sekolah. Oleh karena itu, merencanakan PBW adalah sebuah desain yang kompleks dan memadukan antara desain pembelajaran yang umum berlaku dan menggunakan Web sebagai media penting untuk menyampaikan pesan.
E. KONSEP BELAJAR JARAK JAUH
            Konsep yang melandasi DPBW adalah pendidikan jarak jauh (Distance Learning). Artinya pendekatan yang digunakan dalam mendisain PBW didasarkan pada konsep pendidikan jarak jauh. Implikasinya terhadap DPBW adalah bahwa DPBW dirancang dengan menerapkan kaidah-kaidah pembelajaran jarak jauh.
Schlosser dan Anderson (1994) menyatakan mendefinisikan kembali peran pendidikan jarak jauh dalam kaitannya dengan penerapan teknologi, masalah desain, metode dan strategi untuk meningkatkan interaktivitas dan belajar aktif, karakteristik peserta didik, dukungan peserta didik, masalah operasional, kebijakan dan isu-isu pengelolaan, pemerataan dan aksesibilitas, dan biaya /manfaat merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan.
Definisi ulang diperlukan untuk membuat pembelajaran jarak jauh dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam teknologi dan informasi. Ini termasuk mendefinisikan kembali peran kunci peserta didik, seleksi dan penerapan teknologi, masalah desain, strategi untuk meningkatkan interaktivitas da aktivitas belajar , karakteristik pelajar, pelajar dukungan, masalah operasional, kebijakan dan isu-isu pengelolaan, pemerataan dan aksesibilitas.
Membahas metode-metode dan strategi untuk merancang dan memberikan pembelajaran jarak jauh dibutuhkan untuk menggambarkan karakteristik peserta didik, cara mereka belajar, factor- factor yang mempengaruhi keberhasilan, dan system dukungan yang tersedia. Selain itu juga perlu diketahui tentang masalah operasional, termasuk adopsi teknologi dan mendefinisikan peran berbagai komponen termasuk personalia pendukung.
Rasmussen & Shivers (2003) menjelaskan perbedaan antara Distance Learning dan bukan Distance Learning dengan gambaran sebagai berikut :


Lokasi


Sama
Berbeda
Waktu
Sama
Bukan Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan Jarak Jauh
Berbeda
Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan Jarak Jauh
Gambar 37. Perbedaan Waktu dan Lokasi dalam BJJ
            Ada dua fungsi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menyatakan perbedaan pendidikan jarak jauh atau bukan yaitu waktu dan lokasi antara pendidik dan peserta didik atau antara sender dan receiver pesan.
            Pertama, apabila pembelajaran terjadi dalam waktu dan lokasi yang sama, maka itu bukan pembelajaran jarak jauh. Kedua, jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam waktu yang sama tetapi pada lokasi yang berbeda, maka ia termasuk kelompok pembelajaran jarak jauh.
            Ketiga, jika pembelajaran dilaksanakan dalam waktu yang berbeda dan lokasi yang sama, maka pembelajarannya dikategorikan pada pembelajaran jarak jauh.
            Keempat, apabila pembelajaran dilaksanakan pada waktu dan lokasi yang berbeda, maka dikelompokkan pada pembelajaran jarak jauh.
            Berdasarkan uraian di atas, jika waktu dan lokasi dijadikan sebagai dasar pertimbangan, maka hanya satu yang bukan pembelajaran jarak jauh yaitu pembelajaran yang dilaksanakan pada waktu dan tempat yang sama. Oleh karena itu, pengertian pembelajaran jarak jauh juga harus memenuhi ketiga variasi fungsi dari waktu dan lokasi pembelajaran.

Minggu, 15 April 2012

MAHASISWA PASCA TP UNP TA. 2011


Penempatan Pegawai


PERKENALAN
            Agar seorang pegawai baru merasa diterima sebagai anggota keluarga dan tidak sebagai orang “luar”, pegawai baru tersebut perlu diperkenalkan kepada berbagai pihak, terutama dengan orang-orang dengan siapa dia akan sering berhubungan dalam rangka pelaksanaan tugasnya kelak. Pihak- pihak yang perlu segera dikenalnya antara lain ialah atasan langsungnya dari siapa ia akan menerima perintah atau instruksi dan kepada siapa dia melapor, rekan-rekan sekerjanya dalam satu satuan kerja di mana dia akan ditempatkan, para pejabat dan petugas di bagian pendidikan dan pelatihan dan, kalau ada, kepada orang yang berperan memberikan konseling, orang yang akan dibutuhkannya untuk berkonsultasi dan meminta nasehat dalam hal pegawai baru itu menghadapi masalah dalam kehidupan organisasionalnya.  
            Jika berbagai aspek program pengenalan yang telah dibahas di muka telah dilakukan dengan baik, mamfaat yang segera dapat dipetik antara lain ialah :
a.    Cepatnya pegawai baru melakukan penyesuaian yang diperlukan,
b.    Hilangnya keragu-raguan dalam diri pegawai baru itu tentang cocok tidaknya organisasi sebagai tempat berkarya,
c.    Tumbuhnya harapan kekaryaan yang realistic,
d.   Segera dapat memberikan sumbangan yang positif bagi organisasi yang terwujud dalam produktivitas yang tinggi,
e.    Makin kecilnya kemungkinan pegawai baru tersebut minta berhenti.
Dengan perkataan lain, program pengenalan yang baik tidak boleh bersifat “ perpeloncoan”. Artinya , baik penyelia maupun petugas dari bagian pengelola sumber daya manusia harus berusaha jangan sampai pegawai baru itu dipaksakan untuk menyerap terlalu banyak informasi dalam waktu yang singkat, disuruh mengisi terlalu banyajk formulir, diberikan “pekerjaan rumah” yang tidak mendorong kreativitas, diberi tugas yang terlalu sulit sehingga kemungkinan gagal menjadi besar, langsung “diterjunkan” melaksanakan tugas tertentu tanpa persiapan yang memadai dan dihadapkan pada kesenjangan antara informasi yang bersifat umum dari bagian pengelola sumber daya manusia dan informasi yang sangat teknis dari penyelia yang turut terlibat.
PENEMPATAN
            Banyak orang yang berpendapat bahwa penempatan merupakan akhir dari proses seleksi. Menurut pandangan ini, jika seluruh proses seleksi telah ditempuh dan lamaran seorang diterima, akhirnya seseorang memperoleh status sebagai pegawai dan ditempatkan pada posisi tertentu untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu pula. Pandangan demikian memang tidak salah sepanjang menyangkut pegawai baru. Hanya saja teori manajemen sumber daya manusia yang mutakhir menekankan bahwa penempatan tidak hanya  berlaku bagi para pegawai baru, akan tetapi berlaku pula bagi para pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi. Berarti konsep penempatan mencakup promosi, transfer dan bahkan demosi sekalipun. Dikatakan demikian karena sebagaimana halnya dengan pegawai baru, pegawai lamapun perlu direkrut secara internal, perlu dipilih dan biasanya juga menjalani program pengenalan sebelum mereka ditempatkan pada posisi yang baru dan melakukan pekerjaan baru pula.
A.  Promosi
Telah umum diketahui bahwa yang dimaksud dengan promosi ialah apabila seorang pegawai dipindahkan dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lainnya yang tanggung jawabnya lebih besar, tingkatannya dalam hierarki jabatan lebih tinggi dan penghasilannya pun lebih besar pula. Setiap pegawai mendambakan promosi karena dipandang sebagai penghargaan atas keberhasilan seseorang menunjukkan prestasi kerja yang tinggi dalam menunaikan kewajibannya dalam pekerjaan dan jabatan yang dipangkunya sekarang, sekaligus sebagai pengakuan atas kemampuan dan potensi yang bersangkutan untuk menduduki posisi yang lebih tinggi dalam organisasi. Promosi dapat terjadi tidak hanya bagi mereka yang menduduki jabatan manajerial, akan tetapi juga bagi mereka yang bersifat teknikal dan non manajerial. Bagi siapapun promosi itu diberlakukan, yang penting ialah bahwa pertimbangan-pertimbangan yang digunakan didasarkan pada serangkaian criteria yang obyektif, tidak pada selera orang yang mempunyai kewenangan untuk mempromosikan orang lain.
Organisasi pada umumnya menggunakan dua criteria utama dalam mempertimbangkan seseorang untuk dipromosikan, yaitu prestasi kerja dan senioritas. Promosi yang didasarkan pada prestasi kerja mengunakan hasil penilaian atas hasil karya yang sangat baik dalam promosi atau jabatan sekarang. Dengan demikian promosi tersebut dapat dipandang sebagai penghargaan organisasi atas prestasi kerja anggotanya itu. Akan tetapi promosi demikian harus pula didasarkan pada pertimbangan lain, yaitu perhitungan yang matang atas potensi kemampuan yang bersangkutan menduduki posisi yang lebih tinggi. Artinya perlu disadari bahwa mempromosikan seseorang bukannya tanpa resiko, dalam arti bahwa tidak ada jaminan penuh bahwa orang yang dipromosikan benar-benar memenuhi harapan organisasi. Karena itulah analisis yang matang mengenai potensi yang bersangkutan perlu dilakukan.
Praktek promosi lainnya ialah yang didasarkan pada senioritas. Promosi berdasarkan senioritas berarti bahwa pegawai yang paling berhak dipromosikan ialah yang masa kerjanya paling lama. Banyak p\organisasi yang menempuh cara ini dengan tiga pertimbangan , yaitu :
a.       Sebagai penghargaan atas jasa-jasa seseorang paling sedikit dilihat dari segi loyalitas kepada organisasi.
b.      Penilaian biasanya bersifat obyektif karena cukup dengan membandingkan masa kerja orang-orang tertentu yang dipertimbangkan untuk dipromosikan.
c.       Mendorong organisasi mengembangkan para pegawainya karena pegawai yang paling lama berkarya akhirnya akan mendapat promosi.
Cara ini mengandung kelemahan, terutama pada kenyataan bahwa pegawai yang paling senior belum tentu merupakan pegawai yang paling produktif. Juga belum tentu paling mampu bekerja. Kelemahan tersebut memang dapat diatasi dengan adanya program pendidikan dan pelatihan, baik yang diperuntukkan bagi sekelompok pegawai yang melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu maupun yang secara khusus diperuntukkan bagi para pegawai senior tertentu yang akan dipertimbangkan untuk dipromosikan.
B.  Alih Tugas
Dalam rangka penempatan, alih tugas dapat mengambil salah satu dari dua bentuk. Bentuk pertama adalah penempatan seseorang pada tugas baru dengan tanggung jawab, hierarki jabatan dan penghasilan yang relative sama dengan statusnya yang lama. Dalam hal demikian seorang pegawai ditempatkan pada satuan kerja baru yang lain dari satuan kerja di mana seseorang selama ini berkarya. Bentuk lain adalah alih tempat. Jika cara ini yang ditempuh, berarti seorang pekerja melakukan pekerjaan yang sama atau sejenis, penghasilan tidak berubah dan tanggung jawabnya pun relative sama. Hanya saja secara fisik lokasi tempatnya bekerja lain dari yang sekarang. Pendekatan yang kedua ini tentunya hanya mungkin ditempuh apabila organisasi mempunyai berbagai satuan kerja pada banyak lokasi.
Dasar pemikiran untuk menempuh cara ini adalah keluwesan dalam manajemen sumber daya manusia. Artinya para pengambil keputusan dalam organisasi harus memiliki wewenang untuk realokasi sumber daya, dana dan sumber daya manusia sedemikian rupa sehingga organisasi secara tangguh mampu menghadapi berbagai tantangan yang timbul, baik internal maupun eksternal. Melalui alih tugas para manajer dalam organisasi dapat secara lebih efektif memanfaatkan tenaga kerja yang terdapat dalam organisasi . Akan tetapi melalui alih tugas para pegawai pun sesungguhnya memperoleh manfaat yang tidak kecil antara lain dalam bentuk :
a.       Pengalaman baru,
b.      Cakrawala pandangan yang lebih luas,
c.       Tidak terjadinya kebosanan atau kejenuhan,
d.      Perolehan pengetahuan dan keterampilan baru,
e.       Perolehan perspektif baru mengenai kehidupan organisasional,
f.       Persiapan untuk menghadapi tugas baru, misalnya karena promosi,
g.      Motivasi dan kepuasan kerja yang lebih tinggi berkat tantangan dan situasi baru yang dihadapi.
C.  Demosi
Demosi berarti bahwa seseorang, karena berbagai pertimbangan mengalami penurunan pangkat atau jabatan dan penghasilan serta tanggung jawab yang semakin kecil. Dapat dipastikan bahwa tidak ada seorang pegawai pun yang senang mengalami hal ini.
Pada umumnya demosi dikaitkan dengan pengenaan suatu sanksi disiplin karena berbagai alasan, seperti :
a.       Penilaian negatif oleh atasan, karena prestasi yang tidak/kurang memuaskan,
b.      Perilaku pegawai yang disfungsional, seperti tingkat kemangkiran yang tinggi,
Akan tetapi tidak sedemikian gawatnya sehingga yang bersangkutan belum pantas dikenakan hukuman yang lebih berat seperti pemberhentian tidak atas permintaan sendiri.
       Situasi lain yang ada kalanya berakibat pada demosi karyawan ialah apabila kegiatan organisasi menurun, baik sebagai akibat factor-faktor internal maupun eksternal, tetapi tidak sedemikian gawatnya sehingga terpaksa terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam hal demikian organisasi memberikan pilihan kepada para karyawannya, yaitu antara demosi dengan segala akibatnya dan pemutusan hubungan kerja dengan perolehan hak-hak tertentu seperti pesangon yang jumlahnya didasarkan atas suatu rumus tertentu yang disepakati bersama.
       Suatu perkembangan yang sangat menarik dalam manajemen sumber daya manusia ialah terjadinya demosi atas pilihan dan kemauan pegawai yang bersangkutan sendiri. Misalnya, dalam hal seorang pegawai mengalami frustasi dalam pekerjaannya sekarang, apapun factor-faktor penyebab frustasi tersebut seperti stress yang terlalu kuat, kesadaran yang bersangkutan bahwa beban tugasnya terlalu berat, jauhnya tempat tinggalnya dari tempat pekerjaan dan lain sebagainya. Pegawai yang bersangkutan dimungkinkan mengajukan permohonan dialihtugaskan pada pekerjaan dan jabatan yang diperkirakan lebih dapat dikuasai dan dilakukannya dengan lebih baik. Alasan lain mengapa hal demikian bias terjadi ialah karena pegawai yang bersangkutan menilai bahwa terus bertahan pada posisi sekarang dapat berakibat pada tidak mungkin lagi seseorang meniti karier yang lebih tinggi, sedangkanalih tugas yang bersifat demosi untuk jangka panjang dapat berakibat pada semakin terbukanya promosi baginya di kemudian hari.
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
            Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja ialah apa ikatan formal antara organisasi selaku pemakai tenaga kerja dan karyawannya terputus. Banyak factor yang dapat menjadi penyebab terjadinya pemutusan hubungan kerja tersebut seperti :
1.      Alasan pribadi pegawai tertentu,
2.      Karena pegawai dikenakan sanksi disiplin yang sifatnya berat,
3.      Karena factor ekonomi seperti resesi, depresi atau stagflasi
4.      Karena adanya kebijaksanaan organisasi untuk mengurangi kegiatannya yang pada gilirannya menimbulkan keharusan untuk mengurangi jumlah pegawai yang dibutuhkan oleh organisasi.
Pada dasarnya pemutusan hubungan kerja mengambil dua bentuk utama, yaitu berhenti dan diberhentikan.
A.      Pemberhentian Normal
Yang dimaksud dengan pemberhentian normal ialah apabila seseorang tidak lagi bekerja pada organisasi karena berhenti atas permintaan sendiri, berhenti karena sudah mencapai usia pensiun arena meninggal dunia.
Seorang pegawai yang berhenti atas permintaan sendiri berarti mengambil keputusan bahwa hubungan kerja dengan organisasi tidak lagi dilanjutkan. Berbagai alasan dapat menjadi penyebab diambilnya keputusan tersebut yang biasanya bersifat pribadi. Dalam hal demikian organisasi tidak berhak menolak keputusan pegawai yang bersangkutan dan oleh karenanya mau tidak mau harus dikabulkan. Memang ada kalanya organisasi dengan berbagai cara mendorong para pegawainya berhenti, seperti misalnya dalam hal akan terjadi surplus tenaga kerja sebagai akibat menurunnya kegiatan organisasi.
Alasan lain mengapa ada pegawai yang berhenti ialah karena sudah mencapai usia pension. Pemensiunan pegawai dapat mengambil dua bentuk. Bentuk pertama ialah karena keharusan pension setelah mencapai usia tertentu. Keharusan ini biasanya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan berdasarkan peraturan kepegawaian yang berlaku bagi para karyawan suatu organisasi tertentu. Berarti apabila seseorang telah mencapai usia tertentu, ia diberhentikan dengan hormat dari jabatan dan pekerjaannya dengan hak pension. Batas usia pensiun tidak perlu seragam bagi semua pegawai. Artinya, bisa saja terjadi bahwa bagi pegawai yang sifat pekerjaannya memerlukan kekuatan fisik, usia pensiunnya lebih pendek. Sedangkan bagi mereka yang sifat pekerjaannya lebih memerlukan kesegaran mental, batas usia pensiunnya dapat lebih panjang. Beberapa contoh bagi kategori pertama ialah pengemudi, pekerja tambang, pekerja kasar di perusahaan bangunan dan lain-lain pekerjaan sejenis. Sedangkan contoh-contoh yang termasuk kategori kedua ialah para manajer, guru, dosen, peneliti, hakim dan lain sebagainya.
Harus diakui bahwa batas usia pensiun dapat berbeda dari satu organisasi ke organisasi yang lain. Bahkan juga dari suatu Negara ke Negara lain. Berbagai factor yang dipertimbangkan dalam menentukan batas usia pensiun tersebut antara lain ialah :
a.       Jenis pekerjaan,
b.      Kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya,
c.       Situasi perekonomian, baik secara mikro maupun makro,
d.      Harapan hidup,
e.       Situasi ketenagakerjaan.
Kiranya relevan untuk menambahkan bahwa salah satu bentuk pemensiunan pegawai adalah pemensiunan yang dipercepat. Artinya, baik atas dorongan organisasi maupun atas kemauan pegawai yang bersangkutan sendiri, dimungkinkan pemensiunan yang lebih awal dari keharusan pensiun yang ditetapkan dalam peraturan yang sifatnya normative. Apabila prakarsa datangnya dari organisasi, terdapat dua pertimbangan yang menjadi dasarnya, yaitu ;
1.      Menurunnya kegiatan organisasi sehingga dirasa perlu untuk mengurangi jumlah pegawai dan dengan demikian mengurangi beban pembiayaan, terutama yang diperuntukkan bagi belanja pegawai.
2.      Dirasakan adanya kebutuhan untuk “menciptakan lowongan” bagi para pegawai tertentu yang dipandang layak dipromosikan, tetapi terhalang oleh adanya tenaga-tenaga yang lebih senior tetapi sebenarnya sudah kurang produktif.
Penyebab ketiga terjadinya pemberhentian ialah karena ada pegawai yang meninggal dunia. Meskipun hal demikian tidak diharapkan terjadi, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa karena berbagai sebab, ajal seseorang itu, cepat atau lambat, pasti tiba. Peristiwa seperti itu tidak selalu dapat diperhitungkan sebelumnya. Tetapi akibatnya harus ditanggung dalam arti pengisian lowongan yang timbul dan penyelesaian hak pegawai yang meninggal itu dengan ahli warisnya. Meskipun benar bahwa tibanya ajal seseorang tidak dapat diduga sebelumnya, dewasa ini makin banyak organisasi yang membantu para karyawannya agar hidup lebih sehat, misalnya dengan menyediakan fasilitas olah raga atau dengan mendorong para karyawannya aktif menjaga kondisi fisiknya melalui berbagai cara.
B.       Pemberhentian Tidak Atas Permintaan Sendiri
Pemutusan hubungan kerja dalam bentuk pemberhentian pegawai tidak atas kemauan sendiri dapat terjadi karena dua sebab utama.
Pertama, karena menurunnya kegiatan organisasi yang cukup gawat sehingga organisasi terpaksa mengurangi jumlah karyawannya. Dalam hal demikian pemutusan hubungan kerja itu dapat bersifat permanen, akan tetapi dapat pula bersifat sementara. Jika bersifat permanen berarti pimpinan organisasi memperkirakan bahwa gambaran masa depan organisasi tidak cerah untuk kurun waktu yang cukup panjang. Sebaliknya jika pemutusan hubungan kerja itu bersifat sementara, berarti situasi yang dihadapi diperkirakan tidak berlangsung lama. Factor penyebabnya belum tentu karena menurunnya kegiatan organisasi, akan tetapi karena factor-faktor lain seperti karena peremajaan mesin, alih teknologi, perubahan situasi persaingan, pergeseran preferensi konsumen dan lain sebaginya.
Dalam hal terjadinya pemutusan hubungan kerja yang sifatnya sementara, pertanyaan yang menantang untuk dipikirkan dan ditemukan jawabannya ialah siapa yang diberhentikan. Apakah tenaga kerja senior atau pegawai yang relative baru. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya tenaga seniorlah yang diberhentikan :
a.       Dari penghasilan mereka selama ini sangat mungkin mereka sudah memiliki tabungan,
b.      Jika dipanggil kembali bekerja mereka tidak kehilangan senioritasnya.
Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa pegawai yeng relative barulah yang diberhentikan karena :
a.       Belum banyak jasa yang diberikannya kepada organisasi,
b.      Kesempatan bagi mereka pindah ke pekerjaan lain lebih besar.
Kedua, karena pengenaan sanksi disiplin yang berat akibat pada pemutusan hubungan kerja. Artinya bisa saja terjadi bahwa karyawan melakukan pelanggaran tertentu sedemikian rupa sehingga kelanjutan kehadirannya dalam organisasi dipandang tidak dapat dipertanggung jawabkan lagi. Dalam hal demikian, pengenaan sanksi berat tersebut dapat mengambil satu dari dua bentuk :
a.       Pegawai yang dikenakan sanksi disiplin berat itu diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri,
b.      Pemberhentian tidak dengan hormat atau pemecatan.
Berbagai bentuk pelanggaran berat yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja itu antara lain ialah :
a.       Ketidakjujuran,
b.      Perilaku negative yang sangat merusak citra organisasi,
c.       Dijatuhi hukuman oleh pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hokum tetap,
d.      Sikap, tindakan dan ucapan yang mengakibatkan keberadaannya dalam organisasi tidak diinginkan lagi.
Jika terjadi pemberhentian tidak atas permintaan pegawai yang bersangkutan sendiri, tiga hal perlu mendapat perhatian manajemen, yaitu :
1.      Tindakan tersebut harus merupakan tindakan terakhir dalam arti bahwa sebelum tindakan tersebut diambil, pegawai yang bersangkutan telah diperingatkan terlebih dahulu, misalnya dalam bentuk teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas oleh atasan yang bersangkutan.
2.      Pegawai yang dikenakan sanksi berat tersebut diberi kesempatan untuk memahami bahwa sanksi tersebut dikenakan kepadanya berdasarkan criteria yang obyektif. Artinya yang bersangkutan harus mengetahui dengan jelas apa kesalahannya, ketentuan apa yang dilanggarnya dan bahwa hukumannya itu setimpal dengan kesalahan yang diperbuatnya. Bahkan suatu hal yang sangat baik apabila kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela diri.
3.      Jika manajemen tetap berpendapat bahwa keputusan yang telah diambil tidak bisa diubah lagi, pejabat atau petugas pengelola sumber daya manusia perlu menyelenggarakan “exit interview” yang tujuan utamanya adalah untuk mengusahakan bahwa pegawai yang bersangkutan meninggalkan organisasi dengan sikap yang wajar. Artinya dapat menerima keputusan yang baginya pasti pahit, tetapi tidak disertai oleh pandangan yang teramat negative terhadap organisasi.
Memang benar bahwa terjadinya pemberhentian pegawai tidak dapat dielakkan, baik karena alasan yang sifatnya alamiah maupun karena pertimbangan organisasional. Bahkan pada tingkat tertentu hal tersebut perlu terjadi karena setiap organisasi selalu memerlukan tenaga baru yang dengan pemikiran mutakhir, ide baru dan cara kerja baru membuat organisasi lebih dinamik dan lebih tangguh.